Selasa, 17 Januari 2017

CERITA RAKYAT KECAMATAN MAJENANG



Menyibak Misteri Sepatnunggal


“Blooom…… bloooom…. Dhuar….. dhuar… dhuar… dhuar…. cetar…. glunggung… glunggung…. glunggung……” . Istana Candi Kuning Gunung Padang dengan pilar batu sepanjang 33,3 meter pun dibumihanguskan, diruntuhkan, dan dihancurkan. Istana Candi Kuning Gunung Padang adalah tempat tinggal Ki Adeg Ciluhur, adipati Kadipaten Majenang sekaligus putra mahkota Kerajaan Daya Luhur dengan rajanya Prabu Gagak Ngampar. Prabu Gagak Ngampar merupakan saudara Prabu Niskala Wastu Kancana, raja Kerajaan Galuh Wiwitan yang wilayahnya membentang dari Sungai Pamanukan di Barat hingga Gunung Ungaran di Timur.
Dengan mata nanar, berkilat…perlambang semangat yang berkobar, seorang pemuda berseru, “Aku Panembahan Dalem Reksapati… kupimpin prajuritku meluaskan wilayah, atas perintah Panembahan Senapati! Ini untuk kejayaan Mataram di masa depan!”
Secepat kilat ia menghilang di bawah langit kelam kadipaten Majenang. Langkah kaki membawanya ke arah matahari terbit. Menembus hutan dalam kegelapan, menyibak semak dan pepohonan, Panembahan Dalem Reksapati menuju Leuweung Wates, rimba di tengah pegunungan pembarisan yang belum pernah terjamah manusia. Semburat warna jingga menyala, seiring kicauan burung nan mempesona, berpadu dengan gemericik air seakan berirama. Sayup-sayup terdengar senandung merdu seorang wanita. Tergerak hati, Reksapati mencoba mendekati asal suara. Menyibak semak alang-alang, terperanjat Reksapati ketika matanya menangkap wajah ayu nan menawan. Sang Gadis pun tak kalah terkejutnya melihat sosok pemuda muncul tiba-tiba di hadapannya.
“Duhai putri cantik jelita… engkaukah bidadari yang turun dari kahyangan?”, sapa sang pemuda.
“Si..si…si…siapa Ki Sanak?” ucapnya terbata-bata.
Mengetahui ia tak mengenal pemuda di hadapannya, si gadis pun mundur menjauh, lalu berlari dengan cepat menyusuri tepian sungai. Sementara Reksapati yang rupanya terlanjur jatuh hati, diam-diam mengikuti. Ratna Kancana, nama gadis itu, memasuki sebuah gubug kecil di tepi hutan. Seorang wanita tua menyambutnya dengan pelukan dan usapan lembut di rambut sang putri tercinta. Reksapati masih mengintai. Dengan sembunyi-sembunyi ia mendekat. Tampak seorang lelaki tua, dengan mata terpejam, duduk bertelekan di dipan bambu panjang.  Jemarinya memegang cerutu hitam. Asap putih mengepul dari mulutnya, membentuk bulatan-bulatan yang berputar-putar membumbung, menyebar lalu menghilang. Tiba-tiba, Reksapati dikejutkan sebuah suara… pletak… sebutir kerikil mengenai kepalanya.
“Anak muda! Untuk apa kau sembunyi? Keluarlah…!” seru lelaki tua.
Rupanya lelaki tua itu bukan orang biasa. Tidak hanya menyadari kedatangan pemuda asing di gubugnya, tetapi juga telah membuat pemuda itu tak bisa berlama-lama dalam pengintaiannya. Reksapati pun keluar dari persembunyianya. Berjalan mendekati lelaki tua sambil mengusap-usap kepalanya.
“Maaf Pak Tua. Saya Reksapati. saya membututi putri Pak Tua yang cantik jelita. Sepertinya saya telah jatuh hati. Saya ingin memperistrinya.. ”, ujarnya dengan lugas.
“ Enak sekali kau menyebutku Pak Tua anak muda….” Lelaki itu membuka mata, beranjak dari dipannya, menatap tajam mata Reksapati. Reksapati tak bergeming, balas menatap tajam sang lelaki tua. Menyelami tatapan tajam Reksapati, lelaki tua itu melihat kilatan api, pertanda bahwa Reksapati bukanlah manusia biasa, melainkan pemuda dengan kesaktian luar biasa.
Dengan suara berat, lelaki tua itu berkata, “Aku Wangsakarta… Mata air Padontilu dan Leuweung Wates ini dalam penjagaanku. Ini adalah Dusun Larangan. Hanya aku, istriku, dan putriku yang menempati dusun ini. Tak seorangpun berani memasuki dusun ini kecuali kami. Termasuk kau, Reksapati! Sebelum terjadi apa-apa denganmu, pergilah! Keluarlah dari Dusun Larangan ini!”
“Tidak semudah itu Ki Wangsakarta! Istana Candi Kuning Gunung Padang di Kadipaten Majenang telah luluh lantak. Aku yang menghancurkannya! Kalau  hanya menguasai sebuah dusun, apa susahnya?  Begitu juga, untuk memperistri putrimu yang cantik jelita, dengan kesaktianku, aku bisa melakukan yang aku mau!”, Reksapati menimpali.
Berpikir sejenak, Ki Wangsakarta pun memanggil putrinya,
“Anakku Ratna Kancana, kemarilah… katakan pada Ayah, bagaimana pendapatmu tentang pemuda ini?”
Setelah terdiam beberapa saat lamanya, Ratna Kancana pun angkat bicara, “Ayahanda yang bijaksana, aku kagum dengan keberaniannya. Tidak ada salahnya ayah menguji kesaktiannya, untuk mengetahui apakah ia bisa menjaga aku, ayah, dan ibu. Atau mungkin ia bisa memberikan sesuatu untuk Dusun Larangan, mata air Padontilu, dan Leuweung Wates. Ratna Kancana serahkan keputusan kepada  Ayahanda…”   
“Baiklah, Reksapati, akan kuijinkan kau menikahi putriku, dengan dua syarat, pertama, kau harus membuka hutan ini menjadi perkampungan sehingga dusun ini tidak lagi menjadi dusun larangan, kedua, apapun permintaan Ratna Kencana padamu, harus kau turuti, meskipun berat kaulakukan. Jika kau melanggarnya maka, apapun yang kau miliki termasuk kesaktianmu harus kau berikan padaku. Sanggupkah kau terima tantanganku?” Seru Ki Wangsakarta dengan suara yang menggelegar membahana, dan mata berkilat menyala membara.
“Itu bukanlah hal  yang sulit untukku, Aki! Aku pasti sanggup melakukannya!”
Suara petir menggelegar seiring dengan sumpah yang diucapkan Panembahan Dalem Reksapati. Dia mulai melaksanakan tugas pertamanya. Karena mempunyai kesaktian yang luar biasa, Panembahan Dalem Reksapati berhasil merubah hutan menjadi sebuah perkampungan yang ia beri nama Babakan (tahap-tahap). Semakin lama, semakin banyak orang berdatangan untuk menetap di perkampungan itu. Seiring berjalannya waktu, daerah tersebut menjadi luas dengan para penduduk yang banyak.
Seiring berjalannya waktu, Panembahan Dalem Reksapati telah menikah dengan Ratna Kancana, putri Ki Wangsakarta yang cantik jelita. Bahkan, Ratna Kancana tengah mengandung putra mereka yang pertama. Sangat besar kasih sayang Reksapati kepada istrinya. Apapun yang diminta, pasti diberi.
Suatu hari, Ratna Kancana bermimpi, dalam mimpinya ia mendengar suara ghaib yang terus terngiang-ngiang dalam benaknya : “Ratna Kancana… engkau.. ayahmu.. ibu.. dan jabang bayi dalam kandunganmu ada dalam kuasaku. Untuk keselamatan kalian, mintalah pada suamimu untuk menangkap seekor ikan di sungai Cibengkeng. Bakarlah ikan itu untuk dia makan. Dan kamu harus me nyaksikan suamimu memakan daging ikan itu hingga bersisa kepala dan duri saja!”
            Begitu terbangun, dengan wajah kebingungan Ratna memanggil suaminya, “Kakanda… Kakanda… Kakanda… di mana engkau? Kakanda… di mana engkau? Kakanda… di mana engkau?” Berulangkali memangil, tak ada sahutan. Ratna keluar dari pondoknya, memandang sekeliling berharap menemukan suaminya segera. Sadar suaminya tak ada di sana, ia berjalan menyusuri perkampungan. Tak sia-sia usahanya, ia pun menemukan suaminya sedang menebang kayu di pinggir hutan. Dengan senyum mengembang, ia hampiri Reksapati. Mendengar suara langkah kaki, Reksapati berhenti dari pekerjaanya, ia terkejut mendapati Ratna berdiri di hadapanya. Tangan kanannya menggenggam sebuah pancing yang pada mata kailnya telah tertancap seekor cacing yang sedang menggeliat, sedangkan tangan kirinya tak berhenti mengelus perutnya.
“Adinda Ratna, adakah sesuatu yang penting hingga kau mencariku sampai ke sini?”ujarnya heran.
“Ya kanda… tangkaplah seekor ikan di Sungai Cibengkeng. Aku akan menemanimu, kanda. Akan aku bakar ikan itu untuk kau makan. Sisakan Kepala dan durinya untukku..”
“Tapi, sejak tinggal di sini tak pernah aku mendapati  seekor ikan pun..”
“Ini keinginan si jabang bayi, Kanda ……” Ratna merajuk sambil mengelus perutnya.
“Dan ingatlah sumpah kanda yang kedua pada ayahanda!” Ratna menambahkan. Reksapati menyerah ketika diingatkan dengan sumpah. Ia pun menggandeng Ratna menuju tepi Sungai Cibengkeng.
Mata kail ia lempar ke tengah sungai. Namun tak ada tanda-tanda seekor ikan pun menyambarnya. Berjam-jam mereka menanti. Karena kelelahan , Ratna Kancana tertidur di atas batu di samping suaminya. Hampir menyerah, Reksapati menggunakan kesaktiannya untuk menerawang apakah ada ikan di sungai Cibengkeng. Ia pun berhasil. Ada seekor ikan yang ia dapatkan masih berenang bebas di dalam sungai, ukurannya cukup besar. Dengan kesaktiannya pula, ia tarik ikan besar itu agar mendekati mata kailnya…dan….hap….. “Kena kau ikan!” serunya kegirangan.
Dari kejauhan Ibunda Ratna Kencana yang hendak turun ke sungai untuk mencuci baju terkejut mendapati Reksapati didampingi putrinya tengah memegang pancing dan ada seekor ikan besar menggelepar di mata kail yang telah ditariknya. Wajah sang ibu pucat pasi. Ia menjatuhkan wadah berisi kain yang hendak dicucinya. Dalam suasana yang masih terang benderang, ia dikejutkan suara petir yang menggelegar. Dalam keterkejutannya, ia berusaha menguasai dirinya. Matanya berkaca-kaca. Bibirnya yang bergetar mengeluarkan gumaman kecil, “ Duh, Gusti…… lindungi desa ini…”. Dengan tergopoh-gopoh, ia lari pulang menemui suaminya yang masih bertelekan di dipan panjang.
Ctak…ctak…ctak…ctak….
Suara langkah yang keras membangunkan Ki Wangsakarta dari tidurnya.
“Aki..! Aki..! Aki! Ikan…. Ikan ….Ikan ….”
“ Ada apa Nyai? Ada apa dengan ikan?”
“ Ikan di sungai Cibengkeng, Ratna dan Reksapati menangkapnya…. Entah apa yang akan mereka lakukan dengan ikan itu Aki….” Wajah Nyi Ningsih tampak ketakutan. Ki Wangsakarta terperanjat, meloncat kuat dari dipan panjang kesayangannya, berlari secepat kilat mencari putri dan menantunya.
Setibanya di tepi sungai Cibengkeng, betapa terkejutnya ia melihat Ratna Kancana duduk tersenyum di hadapan Reksapati. Melihat kedatangan ayahandanya dari kejauhan, Ratna berlari mendekat lalu berteriak, “Ayah, ayah, ayah! Ayah bilang tak ada ikan di sungai kita… lihat ayah, kanda Reksapati dapat menangkapnya… ikan sepat yang sangat lincah… melihat kanda memakannya, sepertinya nikmat sekali ayah…. Sayang ayah datang terlambat… jadi tidak ikut mencicipi….”
Ki Wangsakarta mengabaikan seruan putrinya. Ia mendekati Reksapati yang baru selesai menikmati santapannya. Melihat ikan sepat yang hanya tinggal kepala dan durinya saja, Ki Wangsakarta terduduk lemas. Air matanya menetes, lalu dengan suara bergetar ia berkata, “Anakku… Panembahan Dalam Reksapati, ketahuilah ikan sepat itu adalah satu-satunya ikan yang menghuni sungai Cibengkeng. Adalah larangan bagi siapapun untuk menangkapnya, memindahkannya, atau bahkan membunuh dengan menyantapnya. Karena kehidupan sang ikan berarti kelangsungan desa Babakan, Leuweung Wates, dan mata air Padontilu. Kehidupan ikan berarti masa depan perkampungan. Kematian ikan berarti musibah dan bencana bagi perkampungan.”
Nyai Ningsih datang tergopoh-gopoh bersama puluhan warga desa Babakan. Mendengar percakapan antara Ki Wangsakarta dengan Panembahan Dalem Reksapati membuat mereka ketakutan.
Reksapati merasakan ketakutan yang diperlihatkan ayahnya. Ia pun kebingungan.
“Maaf ayah…. Aku hanya menjalankan sumpahku yang kedua… Ratna Kancana yang memintanya…. aku tidak tahu tentang ini semua…” Kata Reksapati tettunduk lesu.
Ketika Ki Wangsakarta, Nyi Ningsih, Ratna Kancana, Reksapati, dan puluhan warga berdiri mematung dalam kebisuan dan ketakutan yang mencekam, tiba-tiba, terdengar suara ghaib menggema di sekeliling tempat mereka berdiri.
“Terkutuklah Ratna Kancana dan kalian semua! Bencana akan datang melanda! Terkutuklah Ratna Kancana dan kalian semua! Bencana akan datang melanda! Terkutuklah Ratna Kancana dan kalian semua! Bencana akan datang melanda!”
..hikz..hikz..hikz… Kasihan warga di kampung kita. Mereka tak tahu apa-apa, tapi harus menjadi korban derita… Andaikan waktu dapat terulang kembali, mungkin lebih baik dusun ini tetap menjadi Dusun Larangan… tak ada Dusun Babakan… Tak pernah ada perkampungan… hikz…hikz…hikz…” terdengar suara isak tangis Nyi Ningsih memecah kebisuan di antara mereka.
Tiba-tiba kilat menyambar, petir menggelegar, terpaan angin yang kian kencang menimbulkan derak dahan pohon dan daun-daun bergesekan menambah suasana mencekam. Mega hitam menyelimuti langit di atas Leuweung Wates bagaikan memasuki masa kelam dan kegelapan.
“Apa yang bisa aku lakukan ayahanda?” Tanya Reksapati kemudian. Ia merasa harus melakukan sesuatu dengan kesaktiannya.
“Pengorbanan…. Ada yang harus berkorban…. Bukan! Bukan! Bukan! Ada yang harus dikorbankan! Kami yang akan berkorban…. Jika kau sanggup membuat ikan yang kau makan hidup kembali...  itulah masa depan perkampungan”
Ki Wangsakarta menarik tangan istri dan putrinya. Berlari menjauh masuk ke hutan, lalu menghilang dalam kegelapan. Panembahan Dalem Reksapati mengerti, ia harus menghidupkan ikan sepat itu lagi. Ia berlutut di atas batu, mengerahkan kesaktiannya, menengadahkan tangan memohon perlindungan Yang Maha Kuasa. Awan hitam berganti terang, angin berhenti bertiup kencang dan berubah menjadi sepoi-sepoi. Seketika, ikan sepat yang sudah tinggal kepala dan durinya saja dengan ajaib hidup lalu meloncat ke dalam Sungai Cibengkeng. Dan ikan tersebut merupakan satu-satunya (tunggal) yang bisa hidup setelah dimakan. Seiring dengan berjalannya waktu, daerah tersebut menjadi luas dengan penduduk yang banyak. Atas jasa Panembahan Dalem Reksapati, daerah yang dahulunya bernama Babakan diganti nama menjadi Sepatnunggal, berdasar pada kejadian luar biasa, yaitu ikan sepat satu-satunya yang ajaib.
Kini Sepatnunggal yang merupakan nama salah satu desa di Kecamatan Majenang Kabupaten Cilacap dikenal sebagai "Lokasi Yang Dilindungi" (oleh Makhluk Ghaib / Jin) dengan pusatnya di Kampung Larangan, Kampung Dana Warih dan Kampung Wangen yang disangga oleh kampung-kampung lain yaitu  Kampung Babakan, Kampung Leuwi Panjang dan Kampung Kutangsa. Kepercayaan penduduknya, bila pendatang berbuat jahat di daerah ini, maka ia tidak akan mampu keluar dari desa dalam keadaan selamat. Dan bila yang berbuat jahat atau mencemarkan nama baik desa adalah penduduk asli, maka disadari atau tidak ia akan "dijauhkan" atau "menjauh dengan sendirinya".


Cerita rakyat ini bersifat fiktif, diramu dari berbagai sumber dengan adaptasi oleh penulis (Dwi Wahyuning Aisyah).  Dipublikasikan pertama kali dalam Lomba Bercerita Tingkat Kabupaten Cilacap Tahun 2014 oleh Meyza, SDN Jenang 02.

5 komentar:

  1. Itu desa kelahiranku..sepatnunggal euy

    BalasHapus
  2. Cerdas sekali yang buat cerita ini,entah ini asli atau dibuat-buat semata,yang pasti cerita ini bisa menghipnotis pembaca nya dan bisa memposisikan pembacanya seakan ini cerita sungguhan..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih ...
      Ide dasar asal nama Sepatnunggal dari cerita yang berkembang turun temurun... pengembangan cerita hanya imajinasi penulis... Termasuk nama tokoh dan alur cerita... Ini hanya fiktif belaka...

      Hapus
  3. Bagaimana cerita lengkapnya tentang asal nama sepatnunggal yg bersumber dr cerita yg berkembang turun temurun kalo boleh tau .

    BalasHapus