“Blooom…… bloooom….
Dhuar….. dhuar… dhuar… dhuar…. cetar…. glunggung… glunggung…. glunggung……” .
Istana Candi Kuning Gunung Padang dengan pilar batu sepanjang 33,3 meter pun
dibumihanguskan, diruntuhkan, dan dihancurkan. Istana Candi Kuning Gunung
Padang adalah tempat tinggal Ki Adeg Ciluhur, adipati Kadipaten Majenang
sekaligus putra mahkota Kerajaan Daya Luhur dengan rajanya Prabu Gagak Ngampar.
Prabu Gagak Ngampar merupakan saudara Prabu Niskala Wastu Kancana, raja Kerajaan
Galuh Wiwitan yang wilayahnya membentang dari Sungai Pamanukan di Barat hingga
Gunung Ungaran di Timur.
Dengan mata nanar, berkilat…perlambang
semangat yang berkobar, seorang pemuda berseru, “Aku Panembahan Dalem
Reksapati… kupimpin prajuritku meluaskan wilayah, atas perintah Panembahan
Senapati! Ini untuk kejayaan Mataram di masa depan!”
Secepat kilat ia menghilang
di bawah langit kelam kadipaten Majenang. Langkah kaki membawanya ke arah
matahari terbit. Menembus hutan dalam kegelapan, menyibak semak dan pepohonan,
Panembahan Dalem Reksapati menuju Leuweung Wates, rimba di tengah pegunungan
pembarisan yang belum pernah terjamah manusia. Semburat warna jingga menyala,
seiring kicauan burung nan mempesona, berpadu dengan gemericik air seakan
berirama. Sayup-sayup terdengar senandung merdu seorang wanita. Tergerak hati,
Reksapati mencoba mendekati asal suara. Menyibak semak alang-alang, terperanjat
Reksapati ketika matanya menangkap wajah ayu nan menawan. Sang Gadis pun tak
kalah terkejutnya melihat sosok pemuda muncul tiba-tiba di hadapannya.
“Duhai putri cantik jelita…
engkaukah bidadari yang turun dari kahyangan?”, sapa sang pemuda.
“Si..si…si…siapa Ki Sanak?”
ucapnya terbata-bata.
Mengetahui ia tak mengenal
pemuda di hadapannya, si gadis pun mundur menjauh, lalu berlari dengan cepat
menyusuri tepian sungai. Sementara Reksapati yang rupanya terlanjur jatuh hati,
diam-diam mengikuti. Ratna Kancana, nama gadis itu, memasuki sebuah gubug kecil
di tepi hutan. Seorang wanita tua menyambutnya dengan pelukan dan usapan lembut
di rambut sang putri tercinta. Reksapati masih mengintai. Dengan
sembunyi-sembunyi ia mendekat. Tampak seorang lelaki tua, dengan mata terpejam,
duduk bertelekan di dipan bambu panjang.
Jemarinya memegang cerutu hitam. Asap putih mengepul dari mulutnya,
membentuk bulatan-bulatan yang berputar-putar membumbung, menyebar lalu
menghilang. Tiba-tiba, Reksapati dikejutkan sebuah suara… pletak… sebutir kerikil mengenai kepalanya.
“Anak muda! Untuk apa kau
sembunyi? Keluarlah…!” seru lelaki tua.
Rupanya lelaki tua itu
bukan orang biasa. Tidak hanya menyadari kedatangan pemuda asing di gubugnya,
tetapi juga telah membuat pemuda itu tak bisa berlama-lama dalam
pengintaiannya. Reksapati pun keluar dari persembunyianya. Berjalan mendekati
lelaki tua sambil mengusap-usap kepalanya.
“Maaf Pak Tua. Saya
Reksapati. saya membututi putri Pak Tua yang cantik jelita. Sepertinya saya
telah jatuh hati. Saya ingin memperistrinya.. ”, ujarnya dengan lugas.
“ Enak sekali kau
menyebutku Pak Tua anak muda….” Lelaki itu membuka mata, beranjak dari
dipannya, menatap tajam mata Reksapati. Reksapati tak bergeming, balas menatap
tajam sang lelaki tua. Menyelami tatapan tajam Reksapati, lelaki tua itu
melihat kilatan api, pertanda bahwa Reksapati bukanlah manusia biasa, melainkan
pemuda dengan kesaktian luar biasa.
Dengan suara berat, lelaki
tua itu berkata, “Aku Wangsakarta… Mata air Padontilu dan Leuweung Wates ini
dalam penjagaanku. Ini adalah Dusun Larangan. Hanya aku, istriku, dan putriku yang
menempati dusun ini. Tak seorangpun berani memasuki dusun ini kecuali kami.
Termasuk kau, Reksapati! Sebelum terjadi apa-apa denganmu, pergilah! Keluarlah
dari Dusun Larangan ini!”
“Tidak semudah itu Ki
Wangsakarta! Istana Candi Kuning Gunung Padang di Kadipaten Majenang telah luluh
lantak. Aku yang menghancurkannya! Kalau
hanya menguasai sebuah dusun, apa susahnya? Begitu juga, untuk memperistri putrimu yang
cantik jelita, dengan kesaktianku, aku bisa melakukan yang aku mau!”, Reksapati
menimpali.
Berpikir sejenak, Ki
Wangsakarta pun memanggil putrinya,
“Anakku Ratna Kancana, kemarilah…
katakan pada Ayah, bagaimana pendapatmu tentang pemuda ini?”
Setelah terdiam beberapa
saat lamanya, Ratna Kancana pun angkat bicara, “Ayahanda yang bijaksana, aku
kagum dengan keberaniannya. Tidak ada salahnya ayah menguji kesaktiannya, untuk
mengetahui apakah ia bisa menjaga aku, ayah, dan ibu. Atau mungkin ia bisa
memberikan sesuatu untuk Dusun Larangan, mata air Padontilu, dan Leuweung Wates.
Ratna Kancana serahkan keputusan kepada Ayahanda…”
“Baiklah, Reksapati, akan
kuijinkan kau menikahi putriku, dengan dua syarat, pertama, kau harus membuka
hutan ini menjadi perkampungan sehingga dusun ini tidak lagi menjadi dusun
larangan, kedua, apapun permintaan Ratna Kencana padamu, harus kau turuti,
meskipun berat kaulakukan. Jika kau melanggarnya maka, apapun yang kau miliki
termasuk kesaktianmu harus kau berikan padaku. Sanggupkah kau terima
tantanganku?” Seru Ki Wangsakarta dengan suara yang menggelegar membahana, dan
mata berkilat menyala membara.
“Itu bukanlah hal yang sulit untukku, Aki! Aku pasti sanggup
melakukannya!”
Suara petir menggelegar
seiring dengan sumpah yang diucapkan Panembahan Dalem Reksapati. Dia mulai
melaksanakan tugas pertamanya. Karena mempunyai kesaktian yang luar biasa,
Panembahan Dalem Reksapati berhasil merubah hutan menjadi sebuah perkampungan
yang ia beri nama Babakan (tahap-tahap). Semakin lama, semakin banyak orang
berdatangan untuk menetap di perkampungan itu. Seiring berjalannya waktu,
daerah tersebut menjadi luas dengan para penduduk yang banyak.
Seiring berjalannya waktu, Panembahan
Dalem Reksapati telah menikah dengan Ratna Kancana, putri Ki Wangsakarta yang
cantik jelita. Bahkan, Ratna Kancana tengah mengandung putra mereka yang
pertama. Sangat besar kasih sayang Reksapati kepada istrinya. Apapun yang
diminta, pasti diberi.
Suatu hari, Ratna Kancana
bermimpi, dalam mimpinya ia mendengar suara ghaib yang terus terngiang-ngiang
dalam benaknya : “Ratna Kancana… engkau.. ayahmu.. ibu.. dan jabang bayi dalam
kandunganmu ada dalam kuasaku. Untuk keselamatan kalian, mintalah pada suamimu
untuk menangkap seekor ikan di sungai Cibengkeng. Bakarlah ikan itu untuk dia
makan. Dan kamu harus me nyaksikan suamimu memakan daging ikan itu hingga
bersisa kepala dan duri saja!”
Begitu
terbangun, dengan wajah kebingungan Ratna memanggil suaminya, “Kakanda… Kakanda…
Kakanda… di mana engkau? Kakanda… di mana engkau? Kakanda… di mana engkau?”
Berulangkali memangil, tak ada sahutan. Ratna keluar dari pondoknya, memandang
sekeliling berharap menemukan suaminya segera. Sadar suaminya tak ada di sana,
ia berjalan menyusuri perkampungan. Tak sia-sia usahanya, ia pun menemukan
suaminya sedang menebang kayu di pinggir hutan. Dengan senyum mengembang, ia
hampiri Reksapati. Mendengar suara langkah kaki, Reksapati berhenti dari
pekerjaanya, ia terkejut mendapati Ratna berdiri di hadapanya. Tangan kanannya
menggenggam sebuah pancing yang pada mata kailnya telah tertancap seekor cacing
yang sedang menggeliat, sedangkan tangan kirinya tak berhenti mengelus
perutnya.
“Adinda Ratna, adakah
sesuatu yang penting hingga kau mencariku sampai ke sini?”ujarnya heran.
“Ya kanda… tangkaplah
seekor ikan di Sungai Cibengkeng. Aku akan menemanimu, kanda. Akan aku bakar
ikan itu untuk kau makan. Sisakan Kepala dan durinya untukku..”
“Tapi, sejak tinggal di
sini tak pernah aku mendapati seekor
ikan pun..”
“Ini keinginan si jabang
bayi, Kanda ……” Ratna merajuk sambil mengelus perutnya.
“Dan ingatlah sumpah kanda yang
kedua pada ayahanda!” Ratna menambahkan. Reksapati menyerah ketika diingatkan
dengan sumpah. Ia pun menggandeng Ratna menuju tepi Sungai Cibengkeng.
Mata kail ia lempar ke
tengah sungai. Namun tak ada tanda-tanda seekor ikan pun menyambarnya. Berjam-jam
mereka menanti. Karena kelelahan , Ratna Kancana tertidur di atas batu di
samping suaminya. Hampir menyerah, Reksapati menggunakan kesaktiannya untuk
menerawang apakah ada ikan di sungai Cibengkeng. Ia pun berhasil. Ada seekor
ikan yang ia dapatkan masih berenang bebas di dalam sungai, ukurannya cukup
besar. Dengan kesaktiannya pula, ia tarik ikan besar itu agar mendekati mata
kailnya…dan….hap….. “Kena kau ikan!”
serunya kegirangan.
Dari kejauhan Ibunda Ratna
Kencana yang hendak turun ke sungai untuk mencuci baju terkejut mendapati
Reksapati didampingi putrinya tengah memegang pancing dan ada seekor ikan besar
menggelepar di mata kail yang telah ditariknya. Wajah sang ibu pucat pasi. Ia
menjatuhkan wadah berisi kain yang hendak dicucinya. Dalam suasana yang masih
terang benderang, ia dikejutkan suara petir yang menggelegar. Dalam
keterkejutannya, ia berusaha menguasai dirinya. Matanya berkaca-kaca. Bibirnya
yang bergetar mengeluarkan gumaman kecil, “ Duh, Gusti…… lindungi desa ini…”.
Dengan tergopoh-gopoh, ia lari pulang menemui suaminya yang masih bertelekan di
dipan panjang.
Ctak…ctak…ctak…ctak….
Suara langkah yang keras
membangunkan Ki Wangsakarta dari tidurnya.
“Aki..! Aki..! Aki! Ikan….
Ikan ….Ikan ….”
“ Ada apa Nyai? Ada apa
dengan ikan?”
“ Ikan di sungai
Cibengkeng, Ratna dan Reksapati menangkapnya…. Entah apa yang akan mereka
lakukan dengan ikan itu Aki….” Wajah Nyi Ningsih tampak ketakutan. Ki
Wangsakarta terperanjat, meloncat kuat dari dipan panjang kesayangannya,
berlari secepat kilat mencari putri dan menantunya.
Setibanya di tepi sungai
Cibengkeng, betapa terkejutnya ia melihat Ratna Kancana duduk tersenyum di
hadapan Reksapati. Melihat kedatangan ayahandanya dari kejauhan, Ratna berlari
mendekat lalu berteriak, “Ayah, ayah, ayah! Ayah bilang tak ada ikan di sungai
kita… lihat ayah, kanda Reksapati dapat menangkapnya… ikan sepat yang sangat
lincah… melihat kanda memakannya, sepertinya nikmat sekali ayah…. Sayang ayah
datang terlambat… jadi tidak ikut mencicipi….”
Ki Wangsakarta mengabaikan
seruan putrinya. Ia mendekati Reksapati yang baru selesai menikmati
santapannya. Melihat ikan sepat yang hanya tinggal kepala dan durinya saja, Ki
Wangsakarta terduduk lemas. Air matanya menetes, lalu dengan suara bergetar ia
berkata, “Anakku… Panembahan Dalam Reksapati, ketahuilah ikan sepat itu adalah
satu-satunya ikan yang menghuni sungai Cibengkeng. Adalah larangan bagi
siapapun untuk menangkapnya, memindahkannya, atau bahkan membunuh dengan
menyantapnya. Karena kehidupan sang ikan berarti kelangsungan desa Babakan,
Leuweung Wates, dan mata air Padontilu. Kehidupan ikan berarti masa depan
perkampungan. Kematian ikan berarti musibah dan bencana bagi perkampungan.”
Nyai Ningsih datang tergopoh-gopoh
bersama puluhan warga desa Babakan. Mendengar percakapan antara Ki Wangsakarta
dengan Panembahan Dalem Reksapati membuat mereka ketakutan.
Reksapati merasakan
ketakutan yang diperlihatkan ayahnya. Ia pun kebingungan.
“Maaf ayah…. Aku hanya menjalankan
sumpahku yang kedua… Ratna Kancana yang memintanya…. aku tidak tahu tentang ini
semua…” Kata Reksapati tettunduk lesu.
Ketika Ki Wangsakarta, Nyi
Ningsih, Ratna Kancana, Reksapati, dan puluhan warga berdiri mematung dalam
kebisuan dan ketakutan yang mencekam, tiba-tiba, terdengar suara ghaib menggema
di sekeliling tempat mereka berdiri.
“Terkutuklah Ratna Kancana
dan kalian semua! Bencana akan datang melanda! Terkutuklah Ratna Kancana dan
kalian semua! Bencana akan datang melanda! Terkutuklah Ratna Kancana dan kalian
semua! Bencana akan datang melanda!”
“..hikz..hikz..hikz… Kasihan warga di kampung kita. Mereka tak tahu
apa-apa, tapi harus menjadi korban derita… Andaikan waktu dapat terulang
kembali, mungkin lebih baik dusun ini tetap menjadi Dusun Larangan… tak ada
Dusun Babakan… Tak pernah ada perkampungan… hikz…hikz…hikz…”
terdengar suara isak tangis Nyi Ningsih memecah kebisuan di antara mereka.
Tiba-tiba kilat menyambar,
petir menggelegar, terpaan angin yang kian kencang menimbulkan derak dahan
pohon dan daun-daun bergesekan menambah suasana mencekam. Mega hitam
menyelimuti langit di atas Leuweung Wates bagaikan memasuki masa kelam dan
kegelapan.
“Apa yang bisa aku lakukan
ayahanda?” Tanya Reksapati kemudian. Ia merasa harus melakukan sesuatu dengan
kesaktiannya.
“Pengorbanan…. Ada yang
harus berkorban…. Bukan! Bukan! Bukan! Ada yang harus dikorbankan! Kami yang
akan berkorban…. Jika kau sanggup membuat ikan yang kau makan hidup kembali... itulah masa depan perkampungan”
Ki Wangsakarta menarik
tangan istri dan putrinya. Berlari menjauh masuk ke hutan, lalu menghilang
dalam kegelapan. Panembahan Dalem Reksapati mengerti, ia harus menghidupkan
ikan sepat itu lagi. Ia berlutut di atas batu, mengerahkan kesaktiannya,
menengadahkan tangan memohon perlindungan Yang Maha Kuasa. Awan hitam berganti
terang, angin berhenti bertiup kencang dan berubah menjadi sepoi-sepoi.
Seketika, ikan sepat yang sudah tinggal kepala dan durinya saja dengan ajaib
hidup lalu meloncat ke dalam Sungai Cibengkeng. Dan ikan tersebut merupakan
satu-satunya (tunggal) yang bisa hidup setelah dimakan. Seiring dengan
berjalannya waktu, daerah tersebut menjadi luas dengan penduduk yang banyak.
Atas jasa Panembahan Dalem Reksapati, daerah yang dahulunya bernama Babakan
diganti nama menjadi Sepatnunggal, berdasar pada kejadian luar biasa, yaitu
ikan sepat satu-satunya yang ajaib.
Kini Sepatnunggal yang
merupakan nama salah satu desa di Kecamatan Majenang Kabupaten Cilacap dikenal sebagai
"Lokasi Yang Dilindungi" (oleh Makhluk Ghaib / Jin) dengan pusatnya
di Kampung Larangan, Kampung Dana Warih dan Kampung Wangen yang disangga oleh
kampung-kampung lain yaitu Kampung Babakan, Kampung Leuwi Panjang dan Kampung
Kutangsa. Kepercayaan penduduknya, bila pendatang berbuat jahat di daerah ini,
maka ia tidak akan mampu keluar dari desa dalam keadaan selamat. Dan bila yang
berbuat jahat atau mencemarkan nama baik desa adalah penduduk asli, maka
disadari atau tidak ia akan "dijauhkan" atau "menjauh dengan
sendirinya".
Cerita rakyat ini bersifat fiktif, diramu dari berbagai sumber dengan adaptasi oleh penulis (Dwi Wahyuning Aisyah). Dipublikasikan pertama kali dalam Lomba Bercerita Tingkat Kabupaten Cilacap Tahun 2014 oleh Meyza, SDN Jenang 02.
Itu desa kelahiranku..sepatnunggal euy
BalasHapus😀
HapusCerdas sekali yang buat cerita ini,entah ini asli atau dibuat-buat semata,yang pasti cerita ini bisa menghipnotis pembaca nya dan bisa memposisikan pembacanya seakan ini cerita sungguhan..
BalasHapusTerimakasih ...
HapusIde dasar asal nama Sepatnunggal dari cerita yang berkembang turun temurun... pengembangan cerita hanya imajinasi penulis... Termasuk nama tokoh dan alur cerita... Ini hanya fiktif belaka...
Bagaimana cerita lengkapnya tentang asal nama sepatnunggal yg bersumber dr cerita yg berkembang turun temurun kalo boleh tau .
BalasHapus